Jumat, 18 Februari 2011

Tak Pernah Ku Bayangkan


Oleh Muhammad Arifudin

            Senin, 14 Februari 2011. Awan mendung mulai menyelimuti kawasan sekolahku. Hari itu ada latihan basket, aku memutuskan untuk pulang lebih awal dari biasanya. Setelah kuterima proposal pengajuan dana untuk lomba basket Honda DBL 2011 dari Ega, segera aku cari Toni yang kebetulan aku ingat bahwa pernah ada seorang yang bekerja di Astra mengajak kami berkenalan, namanya Teguh Ariyanto. Walaupun hanya kebetulan saja saat di angkringan bertemu dengan orang itu, kesannya dia orang baik. Makanan kami dibayari oleh Mas Ari dan ia meminta nomor hp Toni untuk memberiitahukan jika sewaktu-waktu ada event dari pihak Astra,  dan akhirnya keduanya bertukaran nomor hp.
            Teringat hal itu, aku sadar. Kenapa aku tidak menghubungi Mas Ari minta bantuan dana  untuk membantu financial event yang akan kami ikuti ini. Sesampai di rumah, ku sms Mas Ari, dan ia mengajak ketemuan di angkringan depan sekolahku atau yang biasa disebut jamsut (jampi sutrisno). Setelah makan dan membawa baju ganti untuk basket sore nanti, ku kayuh sepeda tuaku menuju sekolah untuk menemui Mas Ari.
            Sampai di sekolah, aku langsung masuk dan memparkir sepedaku di depan gerbang. Kutemui Ipud, yang kebetulan ada di depan kelas samping gerbang. Kutawari Ipud untuk menemaniku ke jamsut dan ia mau menemaniku untuk menemui Mas Ari. Dengan agak tergeas-gesa, kami berdua jalan kaki menuju jamsut. Ternyata Mas Ari sudah sampai di jamsut lebih dulu. Lalu ku salami dia dan aku duduk di samping Mas Ari.
            “Lha Toni gak ikut dek?“ tanya Mas Ari membuka obrolan kami.
            “Wah, kebetulan tadi Toni dah pulang Mas.” jawabku santai.
            “Ooo… sekarang dia sombong banget we, disms gak pernah di bales” critanya kepadaku.
            “Apa iya Mas?” jawabku agak tidak percaya, padahal aku sudah tau semua critanya dari Toni tentang Mas Ari.
            “Yaudah, apa yang bisa aku bantu Dek?” tanya Mas Ari, langsung mengajak ke inti pembicaraan.
            Kemudian kami berdua berbincang-bincang masalah dana untuk ikut DBL yang akan diadakan di Solo. Gaya bicaranya yang meyakinkan –mungkin ia bekerja di bagian promosi- membuat aku dan Ipud hanya terbengong dan sesekali tersenyum karena lelucon Mas Ari.
            Pertemuan yang singkat itu hanya menghasilkan kepastian dari Mas Ari yang mau membantu mengajukan proposal dari kami untuk meminta sponsor dari pihak Astra. Dengan syarat proposal harus diacc dari pihak sekolah dan mencantumkan nama-nama anggota basket yang akan ikut dalam event DBL itu. Kira-kira dari pihak Astra bisa mencairkan dan kurang lebih 2 jutaan. Aku pun setuju akan syarat itu. Karena Mas Ari keburu ada janji dengan temannya, kami pun meningglkan jamsut.
            “Ko, kalau bisa cair 2 juta enak no?” tanya Ipud kepadaku dengan memanggilku Koko –sebutan kakak untuk orang Chinese, karena kata orang aku mirip Chinese-.
            “Iya Si, kan jadi lebih enak. Ya meringankan biaya sekitar separuh lebihlah jika bisa cair betulan.” jawabku dengan yakin pada Ipud, yang biasa aku panggil Sisi.
            Kami berdua kemudian jalan menuju ke depan kelas samping gerbang, dan membicarakan pertemuan kami tadi dengan Mas Ari yang terkesan ramah dan meyakinkan. Hujan mulai mengguyur sekolah, aku putuskan untuk tidak ganti pakaian basket dulu. Biasanya kalau hujan tidak ada latihan basket, kebetulan lapangan basket sekolahku bukan lapangan indoor. Jadi setiap kali hujan pasti tidak ada latihan lapangan. Ku tunggu coach (pelatih) basket datang, sambil bersenda gurau dengan Ipud, Nova dan Ufah.
            Adzan Azar berkumandang, aku pun segera menuju masjid sekolah untuk menunaikan shalat. Selesai shalat, ternyata coach sudah datang dan menginstruksikan masuk ke kelas untuk nonton video basket latihan zone defensife Aspac dan evaluasi defend saat turnamen Smada Cup –turnamen bergengsi di Klaten-. Kemudian dilanjutkan latihan lapangan karena sudah tidak hujan. Dan menyuruhklu untuk ganti pakaian.
Pakaian osis yang kukenakan ku ganti dengan pakaian basket. Sepatu kupakai dan kuikat talinya dengan kencang. Baju osis kumasukkan ke tas. Siap untuk latihan basket. Sebelum jalan ke lapangan basket, Ipud memanggilku dan bertanya.
“Ko, nanti ada acara gak?”
“Gak ada Si, kenapa?” ku tanya balik.
“Nanti jam 7 keluar ya Ko, bisa?” ujar Ipud untuk mengajakku keluar.
“Bisa. Mau keluar kemana?” ku tanya lagi, untuk memastikan tempatnya.
“Ya nanti tak kabarin Ko.” jawab Ipud.
Aku pun bergegas menuju lapangan basket dan melakukan stretching. Latihan dimulai dengan lari keliling lapangan basket sebanyak 10 kali.
******
Usai latihan basket, diadakan brifing untuk persiapan DBL. Walaupun masih lama, sekitar satu bulan lagi, tapi persiapannya harus sedini mungkin karena ini event besar. Kuceritakan semua hasil perbincanganku tadi dengan Mas Ari kepada teman-teman basket. Dukungan dari teman-teman  untuk segera menyelesaikan proposal dan mengajukannya ke Mas Ari semakin kuat. Tapi saat brifing itu, tiba-tiba ada sms masuk ke hpku. Lalu ku buka dan ku baca, ternyata dari Mas Ari. Raut mukaku berubah 180 derajat setelah membaca sms dari Mas Ari. Teman-teman mulai melihatku heran dan mulai bertanya satu persatu.
Ngopo we Tong? Kok trus langsung meneng?” Tanya Edo dengan logat Jawa yang memanggilku dengan sebutan Entong.
Wah, bahaya tenan ki Tot, mosok Mas Ari sms ngene ki…….” jawabku dengan bahasa Jawa juga. Sambil ku perlihatkan sms dari Mas Ari kepada teman-teman.

14/02/11  17:38
“Km da temen yg mau
ma cew kesepian
dya manager ak d yogya
cantik n msh muda.
km mau ga dik
Klo soal dna gampang “
Ku bacakan sms dari Mas Ari kepada semua anak basket –kebetulan masih kusimpan sms itu dalam memori teleponku-. Dan mereka hanya tertawa mendengar sms yang kubacakan itu. Satu persatu dari mereka mulai berceloteh tidak karuan, ada yang mengejekku habis-habisan dan ada yang ngasih saran.
Wah, podo aku kae Tong” sahut Toni, yang ternyata sebelumnya juga pernah ditawari hal yang sama.
Iyo ki, ternyata wonge bahaya tenan. Ketoke meyakinkan isoh bantu, tapi kok nawarine koyo ngene ki?” ujarku yang kaget dengan sms itu.
Yo wis, ditunggu wae kedepane piye, yen menowo wonge iseng barang.” ujar Edo memberi masukan kepadaku.
Seusai brifing, aku langsung pulang karena ada janji dengan Ipud jam 7. Kembali sepedaku ku kayuh menyusuri kota Klaten waktu menjelang malam. Cahaya lampu jalan menerangiku dan sepedaku melintasi jalanan yang mulai gelap. 15 menit perjalanan dari sekolahku menuju rumahku.
Sampai di rumah, ku taruh tas di atas kursi. Segera ku lepas sepatu basket dari kakiku dan bergegas ku ambil handuk lalu masuk ke kamar mandi. Setelah mandi, ku ambil air wudhu dan menunaikan ibadah shalat magrib di rumah. Jam menunjukkan pukul 7, Ipud sudah sms. Ia mengajakku ke Linchak –sebuah café yang terletak tak jauh dari sekolah-. Bersamaan dengan masukknya sms Ipud ke inboxku, ada juga sms dari Mas Ari yang isinya mengajakku jalan-jalan. Karena aku juga sudah risih dengan sms pertama darinya, aku tolak ajakannya untuk mengajakku jalan-jalan. Takut terjadi apa-apa, baru kenal sudah ngajak jalan-jalan. Beberapa kali Mas Ari sms aku, tapi tetap saja tidak aku gubris sama sekali.
Pukul 19.15 aku berangkat menuju Linchak dengan naik motor. Di sana aku sudah ditunggu Ipud dan Nova yang datang lebih dulu. Ada beberapa hal yang ingin diomongin Ipud dan Nova ke aku da begitu juga sebaliknya. Aku pengen menceritakan beberapa sms dari Mas Ari yang ia kirim ke inboxku. Mungkin ini pertemuan yang mempertemukan dua masalah yang berbeda.
“Ayo, mau pesen apa?” Tanya Nova kepada kami.
“Es chocolate dan french fries.” Pesen Ipud
“Hot chocolate saja.” Jawabku.
Setelah mencatat pesanan, kami mulai menceritakan masalah masing-masing. Yang pertama adalah masalah Nova yang dikejar-kejar mantan pacarnya yang ingin mengajaknya keluar dan memberiikan sesuatu kepada Nova, tapi Nova tidak mau dan akhirnya keluar dengan Ipud dengan sembunyi-sembunyi. Tetapi, ketahuan juga, karena Andre –mantan pacar Nova- membuntutinya dari belakang dengan naik mobil, sedangkan Nova dan Ipud naik motor. Akhirnya mereka memotong jalan yang tidak bisa dilewati mobil dan lolos dari buntutan Andre dan langsung menuju ke Linchak sesuai dengan ajakan Ipud. Beberapa kali Andre sms dan telpon ke nomor Ipud dan Nova, tapi mereka tidak memberi balasan apapun. Mereka malas jika Andre ikut bergabung dengan kami.
Tak lama berselang, kira-kira 10 menit, Adra teman kami menyusul ke Linchak dan bergabung bersama kami. Kesempatanku untuk cerita ke Adra tentang masalah Mas Ari. Tidak mungkin aku cerita masalah ini kepada dua cewek itu. Akhirnya aku cerita semua sms dari Mas Ari ke Adra, kutunjukkan semua smsnya mulai dari pertama sms sampai terakhir sms sekitar pukul 19.00. Adra yang membaca satu persatu sms yang masuk ke inboxku mulai tertawa geli. Sambil dibacanya dengan suara yang lirih.
14/02/11  17:38
“Km da temen yg mau
ma cew kesepian
dya manager ak d yogya
cantik n msh muda.
km mau ga dik
Klo soal dna gampang “

14/02/11  18:15
“ok dik ntr jln2 ma aku
yuk.ak ga jd k solo lah males”

14/02/11  18:17
“ya dah lah males ak.dah
ak mau bantu tp kaya gt.
dah lah dik males”

14/02/11  18:19
“dah dik crio bantuan
yg lain aja.q dah mau
acc buat team km km
ae kaya gt”

14/02/11  18:24
“ya dah ak minta
persyaratan mau ga.ak
cman mau membuktikan
aja lo ma yg lan bs ga
gt.ak da cream ………….(sensor)
ak mau ksh km mau ga”

14/02/11  18:26
“cman bntr aja kok.ak
trapi pijit telapak kaki lutut
n pinggang aja.besok km
olesin sendiri cream nya.”

14/02/11  18:30
“tkan ga d bls huh bt.lo
km bs ok hr rabu dana bisa
cair 2,5jt.ayo lah dik bntr
aja plisssssss. . .”

14/02/11  18:32
“gmn dik kan gad a 1jam
to.smua team km maju or
ga e d tangan km lho
ini.gmn mau ga”

Beberapa sms  yang kutunjukkan pada Adra dan akhirnya Ipud dan Nova juga tau masalah yang sedang kuhadapi. Antara geli melihat sms itu dan bingung tindakan apa yang seharusnya dilakukan.
“Ko, kamu gak akan nglakuin itu to?” tanya Ipud dengan nada agak sinis kepadaku
“Gak akan Si, tenang aja.” jawabku meyakinkan Ipud.
“jangan sampe harga dirimu ditukar dengan uang ya Ko.” ujar Ipud memberii nasehat.
Wis, mendingan ra sah mbog gagas meneh wonge.” sahut Adra memberii solusi.
“Oke . . oke . . .” jawabku santai.
Akhirnya pesanan kami yang dari tadi kami tunggu datang juga. Sejenak kami tenagkan pikiran dengan merasakan minuman yang telah kami pesan masing-masing. Senda gurau menyelingi kepenatan yang sedang kami hadapi. Tapi bukan berarti masalah sudah selesai. Satu lagi masalah muncul ketika Andre bbm (blackberry messengger) ke Ipud untuk tau dimana Nova sekarang karena hpnya Nova mati. Berulang kali Andre bertanya dan dihiraukan pula oleh Ipud yang mulai malas akan tingkah Andre yang semakin menjengkelkan. Bukan hanya Ipud yang di bbm, Adra juga di telpon dan di sms terus oleh Andre dan dihiraukan pula oleh Adra. Perasaan was-was mulai menyelimuti kami semua, seandainya Andre mengetahui bahwa kami semua ada di sini bersama dengan Nova.
Beberapa scenario telah disiapkan untuk mengelabuhi Andre jika sewaktu-waktu ia datang ke tempat ini dan bergabung dengan kami. Mulai dari berkong-kalikong dengan salah satu pegawai dari Linchak sampai dengan salah satu teman lain yang kebetulan sedang ada di sana. Semua rencana telah siap jika Andre datang sewaktu-waktu.
Dengan perasaan was-was kami menunggu Andre yang sewaktu-waktu bisa datang kapan saja. Tetapi setengah jam berlalu ia tidak juga muncul. Ipud curiga dengan salah satu mobil yang parkir di seberang jalan depan pintu masuk Linchak.
“Nov, kayaknya aku tau mobil yang parkir di sebrang jalan itu, mobilnya Andre bukan?” tanya Ipud kepada Nova untuk memastikan itu bukan mobil Andre.
“Bukan deh. . . Mobilnya Andre kayaknya lebih besar daripada itu to?” jawab Nova.
“Tapi warnanya mirip Nov.” ujar Ipud meyakinkan.
“Ya udahlah, gak usah diurus lagi.” Nova yang tak mau membahas Andre lagi.
Aneh sekali memang. Satu setengah jam berlalu, mobil hitam itu masih di seberang jalan dan tidak ada tanda-tanda orang yang keluar atau masuk mobil itu. Semakin kuat dugaan kami bahwa itu adalah mobil Andre. Sayangnya Ipud hanya ingat plat nomornya saja “123” bukan bentuk ataupun warna mobilnya.
Beberapa saat kami melupakan masalah itu dan kembali canda tawa menghiasi obrolan kami berempat. Dan ketika kembali lagi aku melihat bahwa mobil yang ada di seberang jalan sudah tidak ada, kami semua merasa lega. Saat itu juga waktu telah menunjukkan pukul 21.15 kami memutuskan untuk pulang. Takut Ipud dan Nova kena marah oleh orang tuanya karena pulang malam-malam.
Setelah membayar di kasir, kami mengambil motor masing-masing. Salam perpisahan terucap dari mulut kami masing-masing untuk satu sama lain. Sesaat setelah aku keluar dari Linchak, ku tengok ke kanan dan ternyata ada mobil dengan plat nomor “123” yang tidak lain adalah mobil Andre. Selama dua jam menunggu di dalam mobil, hanya untuk Nova. Kemudian ia membuntuti motor Nova sampai rumah. Memang pengorbanan yang tidak sebanding dengan hasilnya. Yang satu berharap dan yang satu tidak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar